Rape Culture

LPM das Sein
5 min readMay 20, 2023

Melodi Kegelapan: Tabir-Tabir Kultur Pemerkosaan

Penulis: Intan Florenchia

Di negeri yang teduh, di bawah cahaya rembulan yang gemilang, terdapat sebuah tarian yang tersembunyi di dalam kegelapan. Tarian ini bukanlah keindahan yang memesona, melainkan hantu kekerasan seksual yang menghantui kultur kita, Indonesia. Rape culture terus berpadu dalam nyanyian sejarah manusia modern. Namun, jangan keliru, ini bukanlah kebudayaan memerkosa. Istilah itu merujuk kepada kondisi masyarakat dan lingkungan yang memandang sepele tindak pelecehan seksual. Ia menjelma menjadi sosok yang mengerikan, memperoleh panggungnya di media dan budaya populer.

Rape Culture, istilah yang mulai diperkenalkan pada 1970-an di Amerika Serikat, kini menjadi perhatian global. Namun, di Indonesia, istilah ini belum begitu familier. Penting untuk memahami bahwa rape culture tidak secara langsung mengacu pada budaya pemerkosaan, tetapi menggambarkan lingkungan sosial yang meremehkan tindak pelecehan seksual.

Bila kita melihat sekeliling, mungkin kita menyadari bahwa lingkungan di sekitar kita telah terlibat dalam perilaku-perilaku yang termasuk dalam rape culture. Sebagian dari kita mungkin terbiasa melihat segerombolan laki-laki melontarkan kata-kata cabul atau bersiul memanggil perempuan yang berjalan sendirian. Kita menyebutnya catcalling sebagai bentuk pujian atas pesona terhadap seseorang. Namun, catcalling sebenarnya adalah intimidasi dengan motif dan tujuan tertentu.

Catatan Tahunan (CATAHU) 2020 yang diperkenalkan oleh Komnas Perempuan menunjukkan berbagai insiden kekerasan terhadap perempuan yang menjadi tanggung jawab organisasi pemerintah, organisasi nirlaba, dan Komnas Perempuan. Ditemukan bahwa dalam 12 tahun ke belakang, telah terjadi peningkatan kekerasan terhadap perempuan sebanyak delapan kali lebih banyak di Indonesia. Perempuan menjadi sasaran objek kekerasan, pelecehan seksual, penganiayaan, dan pemerkosaan. Budaya pemerkosaan ini melekat kuat di dalam alam pikiran masyarakat kita. Bagaimana bisa kita menyebutnya budaya? Kecenderungan manusia untuk melakukan kekerasan seksual yang telah menjamur dalam masyarakat, inilah yang menjadikan pemerkosaan menjadi budaya yang didorong oleh nafsu seseorang terhadap lawan jenisnya. Ahli filsafat dan aktivis gender, Neng Hannah, berpendapat bahwa kurangnya kesadaran kemanusiaan terhadap perempuan menjadi akar dari permasalahan ini.

Rape culture bukan hanya tentang pemerkosaan, tetapi juga mencakup kekerasan seksual yang dianggap sebagai sesuatu yang normal dan wajar dalam media dan budaya populer. Menurut Olfman dan Sharna dalam buku The Sexualization of Childhood, rape culture adalah sebuah teori sosiologis tentang bagaimana tindakan pemerkosaan dan pelecehan seksual dinormalisasi karena sikap masyarakat tentang gender dan seksualitas. Intinya, masyarakat sering kali dipertemukan oleh gambar, bahasa, peraturan dan hukum, budaya, dan masih banyak fenomena lain yang memvalidasi serta menormalisasikan tindakan pemerkosaan dan pelecehan seksual.

Pemahaman seperti ini tercermin dalam fenomena misoginis yang membuat perempuan merasa tidak nyaman dan merendahkan martabatnya. Adalah sebuah Piramida Budaya Pemerkosaan yang membagi rape culture menjadi tiga kategori, di mana bagian bawah piramida yaitu kategori normalization (pewajaran). Menurut CXO Media, pandangan misoginis pada kategori normalization atau pewajaran bertransformasi menjadi perilaku merendahkan gender lain. Hal ini sering terjadi dalam lingkungan sehari-hari seperti tempat kerja atau tongkrongan pertemanan, yang berupa komentar seksual, rape jokes, dan perilaku seksis. Di bagian tengah piramida ada kategori degradation atau merendahkan. Pada tahap ini, perilaku misoginis terjadi karena kurangnya pemahaman tentang consent atau persetujuan, yang mengakibatkan perlakuan merendahkan terhadap orang lain. Jenis tindakan yang termasuk pada kategori ini meliputi catcalling, pengambilan foto atau rekaman diam-diam, pengiriman foto kelamin tanpa persetujuan, revenge porn, menguntit, dan menyalahkan korban. Terakhir, di bagian teratas piramida ada kategori assault atau kekerasan gamblang. Disini, perilaku misoginis yang dianggap biasa berubah menjadi tindakan kekerasan yang secara jelas merampas otoritas tubuh. Beberapa jenis tindakan yang termasuk ialah seperti memaksa hubungan seksual, memberi obat atau alkohol untuk memperkosa, melepas kondom secara diam-diam, melakukan kekerasan seksual, dan penganiayaan.

Perubahan budaya masyarakat diperlukan untuk mencegah kekerasan seksual, dan hal ini dimulai dari mengubah pandangan dan perilaku kita sehari-hari. Sayangnya, sering kali korban kekerasan seksual disalahkan dan diperlakukan secara tidak adil oleh masyarakat. Victim blaming adalah perilaku yang menyalahkan korban, padahal seharusnya tidak demikian. Korban kekerasan seksual perlu didukung dan diberikan ruang aman untuk berbicara, bukan disalahkan. Penting bagi kita semua untuk memahami bahwa kasus kekerasan seksual adalah masalah bersama. Pemerintah dan masyarakat memiliki tanggung jawab dalam pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) memberikan mandat bagi partisipasi masyarakat dalam hal ini. Data dari SIMFONI menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual mencapai angka yang mencemaskan, yakni sebanyak 11.682 kasus sepanjang tahun 2022. Namun, masih banyak kasus yang tidak dilaporkan. Penerapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi upaya positif dalam menangani rape culture. UU TPKS mendorong partisipasi masyarakat melalui literasi gender, penolakan narasi kekerasan, dan pembentukan kelompok penggerak.

Mengubah pandangan dan perilaku masyarakat membutuhkan kerja sama dari semua pihak. Kita dapat berpartisipasi dalam pencegahan kekerasan seksual dengan membumikan literasi gender, menolak narasi kekerasan, dan berpartisipasi dalam kelompok penggerak. Selain itu, penting untuk membangun ruang aman bagi korban dan penyintas kekerasan seksual. Keadilan hanya bisa ditemukan jika kita semua memahami dan menolak budaya pemerkosaan, serta memberikan dukungan kepada korban kekerasan seksual.

Selain peran pemerintah, setiap individu juga memiliki peran penting dalam mengubah budaya pemerkosaan. Menghormati hak-hak perempuan, menghindari tindakan yang merendahkan, dan mendukung korban adalah langkah awal yang dapat kita ambil. Media sosial juga dapat dimanfaatkan sebagai platform untuk menyebarkan kesadaran akan pentingnya melawan rape culture. Melalui berbagi informasi, mempromosikan narasi positif, dan membangun ruang aman di dunia maya, kita dapat menciptakan perubahan yang lebih luas.

Rape culture bukanlah sebuah lelucon atau hal yang bisa diromantisasi. Itu adalah realitas yang menghancurkan hidup banyak perempuan. Penting bagi kita untuk tidak membiarkan stereotipe dan prasangka menghalangi kita dalam memerangi kekerasan seksual dan membangun masyarakat yang lebih aman bagi semua. Dalam menjaga keseimbangan antara keadilan sosial, keberlanjutan yuridis, dan kehidupan bermasyarakat, kita harus berupaya keras untuk mengubah budaya yang meremehkan dan membenarkan tindak kekerasan seksual.

Dalam perjalanan ini, kesadaran filosofis tentang martabat kemanusiaan dan keadilan akan menjadi pemandu kita. Setiap tindakan kecil memiliki dampak besar, dan dengan bersatu, kita dapat mencapai perubahan yang lebih baik.

Footnote: kata misoginis: n orang yang membenci wanita (KBBI V) misoginis dapat diartikan sebagai rasa benci terhadap wanita (dari Google)

Penyunting Naskah: Daniela Kezia

Editor & Layout: Valencia Citra ft. Catra Jendra

Sumber: sukaonline.com, cewekbanget.grid.id, carilayanan.com, cxomedia.id, baktinews.com, abc.net.au, suarasikap.com

--

--