Politik Ego dan Sindrom Ketertindasan

LPM das Sein
5 min readMar 20, 2022

Oleh: Catra Jendra

Kita ini, Gus, selain dikuasai oleh kekuasaan yang lembut dari luar, juga dikuasai oleh kekuasaan yang kasar di seputaran kampung-kampung kita. Negeri kita ini diam-diam mendemonstrasikan segala dendam yang dikandung sejak zaman Kolonial dengan berbagai macam bentuk penindasan. Penindasan, Gus! Penindasan! Aku jadi teringat syair lagu milik penyanyi legendaris Virgiawan Listanto “Penindasan serta kesewenang-wenangan, banyak lagi… banyak lagi untuk disebutkan” Ohh… roman seribu jilid. Kini kita cukup expert dalam hal penindasan, eksploitasi, penggusuran, atau bentuk-bentuk represi lainnya. Kita susupi racun itu kedalam sistem birokrasi dan segala praktek pembangunan di negeri kita. How come? Tentulah Gus, saudaraku, kita orang sudah cukup tahu untuk mau mengambil “Aku mengerti apa yang perlu kita prihatinkan tentang tanah air!” Toh, kita sering menjumpai kenyataan-kenyataan seperti itu, atau mungkin kita cukup mengambil jarak “barangkali kita tak benar-benar tahu tentang Indonesia.”

Umpamanya, kini hati kita sedang diliputi rasa khawatir yang mendalam. Coba kita melihat konflik antara aparat gabungan TNI dan Polri dengan saudara kita di Desa Wadas. Sebagian warga Desa Wadas menolak eksploitasi batu andesit tersebut, pasalnya kawasan Desa Wadas itu adalah perbukitan bebatuan. Kalau batuan andesit yang berada di puluhan meter di bawah permukaan dieksploitasi dengan cara dibor, dikeruk, dan diledakkan menggunakan 5.300ton dinamit hingga kedalaman 40 meter, ya hancurlah keseluruhan ekosistemnya, dan itu tidak hanya hancur di atas saja, tetapi akan hancur sampai ke bawah juga, karena bukit daerah tersebut merupakan tempat penangkap air dan di sana juga terdapat dua puluh delapan titik mata air. Rusaknya sumber mata air akan berakibat pada kerusakan lahan pertanian dan lebih lanjut warga kehilangan mata pencaharian. Apa yang dipikirkan para pemimpin kita, Gus? Bukankah penguasa dalam menjalankan roda pemerintahannya musti memiliki kebijaksanaan yang setingkat keris[1]? Meskipun aku sendiri sedikit kurang yakin bahwa ada satupun pemimpin di negeri kita sekarang ini yang merupakan sinisihan wahyu [2], ada sih, hanya saja mungkin mereka berada di bawah tekanan-tekanan tertentu, sehingga mau tak mau harus patuh oleh keharusan-keharusan sifat lingkungannya.

Bayangkan, Gus, lagi enak-enaknya main kartu di gardu pangkalan malam hari, ehhh… tiba-tiba datanglah lima mobil polisi, mobil K-9, mobil pembawa anjing pelacak dan BRIMOB ke Desa Wadas. Ribuan personil aparat kepolisian berperalatan lengkap merangsek masuk ke Desa Wadas tanpa kulonuwun.[3] Berkeliaran di sekitar rumah warga dan masjid tanpa kulonuwun. Bergerilya memasang baliho dengan rentetan pasal-pasal KUHP tanpa kulonuwun. Mengintimidasi dan memaksa warga menandatangani persetujuan tambang. Tindakan-tindakan represif dan politik ego sejenis inilah yang kelak atau bahkan sudah melahirkan sindrom ketertindasan pada rakyat. Sehingga ada suara melonjak tiba-tiba “Kedaulatan utama ini berada di milik genggaman siapa sih?” Kemudian yang lain menimpali, “Daulat, bapak kau!”

Ambil secarik kertas dan catat, Gus! Problem serius bagi aparat penegak hukum, terutama polisi dalam kasus Wadas adalah bagaimana mereka mempraktekkan komunikasi sosial bersama antara manusia. Bahkan musyawarah mufakat rasa-rasanya bukan merupakan pendekatan yang utama. Bangsa Indonesia saat ini dalam praktik birokrasinya lebih mengacu kepada kompromi ketimbang musyawarah mufakat. Kalau bermusyawarah, kita menggenggam kebijaksanaan, masing-masing pihak mengosongkan dirinya dan berposisi sama-sama tidak tahu kemudian mencari problem solving bersama. Musyawarah pada hakikatnya merupakan pelajaran dasar dan frekuensi terbesar komunikasi yang digenggam oleh pihak penegak hukum. Dengan musyawarah berarti kita memelihara “romantisme” dialog dengan pihak yang bersangkutan secara arif, bijaksana, sportif, dan demokratis. Bila pendekatan semacam itu dilakukan, kemungkinan besar permasalahannya tak akan menimbulkan “Wadas Melawan,” barangkali juga tidak akan terjadi konflik. Tetapi apa yang terjadi, Gus, kecacatan prosedur macam apa ini? Bukankah negeri kita sendiri terkenal dengan yang namanya musyawarah untuk mufakat? Bukankah rakyat kita ini terkenal gampang diajak musyawarah? Hatinya lunak untuk memberikan kesediaannya demi kemajuan dan pembangunan bangsa, atau justru karena hatinya lunak maka mereka merasa bebas untuk menginjak-injak.

Terang sudah, Gus, kita barangkali perlu mengukur sudah seberapa jauh kepentingan politik atau politik ego mengobrak-abrik keutuhan manusia. Seberapa jauh status sosial, jabatan, posisi kelas yang semuanya tergabung di dalam sistem dan aturan birokrasi antara manusia, perlahan-lahan justru memproses dehumanisasi. Seberapa jauh manusia dibungkus berlapis-lapis dari hari ke hari sedemikian rupa, sehingga terkadang manusianya sendiri tersembunyikan. Selip sedikit, Gus, aku tak bermaksud menambah-nambah muatan ke dalam suratku ini sehingga nanti tulisan ini terkesan mental-mental lagi, tapi tema kita ini selalu tentang manusia Indonesia. Aku bermaksud mengajak kita semua bagaimana kita menyikapi status kedua kita setelah status kita sebagai manusia. Bagaimana kita tetap setia memupuk subur nilai manusia setelah dibungkus oleh berbagai macam lapisan-lapisan yang notabene setiap lapisan memiliki fungsi status, berkaitan erat dengan keharusan yang disepakati. Paham, Gus? Biar kusederhanakan lagi, jadi begini, kalo njenengan itu aparat penegak hukum, mbok yang tampil pada masyarakat itu manusianya dulu. Jangan tampil sebagai preman yang melotot. Betapapun itu, manusia harus terlebih dulu bertemu dengan manusia. Kamu pikir kamu itu siapa dan rakyat itu siapa sehingga aparat penegak hukum berani menindas rakyat sendiri? Bahwa betul pemerintah dan lembaga perwakilan memberikan mandat untuk membuat kebijakan. Tapi toh, hak atas tanah tetaplah di tangan warga. Maka segala sesuatu tentulah harus didasari oleh kepentingan warga Wadas itu sendiri. Kalau mereka menolak, maka artinya bos menolak. Hamba sahaya harus melebarkan telinga selebar mungkin untuk mendengarkan juragannya. Sebab secara substansial merekalah subjek utama pembangunan. Jangan lantas kalau warga Wadas memprotes, berunjuk rasa, marah, lantas dituduh sebagai subversi, pelawan pembangunan, pembangkang pemerintah, pengacau keamanan, atau kalau warga terlalu banyak protes “kostum” yang dikenakan pada mereka adalah “pemberontak.” What a joke! Sampai hari inipun keluhan rakyat yang tidak berdaulat belum mendapatkan jawaban ala Pancasila. Bukankah Tuhan sudah memberikan mandat kepada para pengurus-pengurusnya di dunia melalui lembaga-lembaga sosial, institusi, instrumen-instrumen negara, dan penugasan-penugasan lain semata-mata untuk melaksanakan pembangunan kesejahteraan rakyat.

Perhatikan, Gus, dalam fenomena “rutin” itu, engkau bisa temukan tiga potret realitas. Pertama, ada salah sangka dalam tatanan birokrasi kita bahwa pemerintah menyangka bahwa rakyat adalah bawahannya, sedangkan pemerintah adalah atasannya, sementara di waktu yang sama, rakyat mengira mereka adalah bawahannya, sehingga mereka merasa sah-sah saja memaksakan kehendak mereka atas rakyat. Kedua, bahwa dalam praktik urusan kenegaraan dan kemasyarakatan seringkali penguasa lebih menampilkan sikap otoriter, yang secara sadar atau tidak sadar cenderung memaksakan kehendaknya sendiri. Ketiga, musyawarah mufakat yang merupakan ciri khas dari sila keempat justru bukan menjadi pendekatan yang utama untuk mencari penyelesaian masalah. Kita bisa langsung membuat bayangan arti kekuasaan otoritas politik yang di sebelah tangannya menggenggam peralatan militer. Serem ya, Gus, kita barangkali tidak benar-benar mengaplikasikan semesta nilai yang ada pada Pancasila. Maklumlah, negeri kita masih muda, masih tujuh puluh tujuh tahun, sedangkan pohon beringin yang tergambar pada Pancasila (pada dasarnya yang disebut persatuan Indonesia) barangkali usianya sudah ratusan tahun. Perjalanan Indonesia mengamalkan sila ketiga masih teramat panjang. Demikian sudah suratku, Gus, kemarahan warga bisa dibendung dengan mudah oleh aparat penegak hukum. Tapi kalau kemarahan alam? Seram jika dibayangkan, Gus…

[1] Keris adalah salah satu dari tiga idiom manusia yang memiliki sifat kepribadian: kebajikan, kearifan, kebijaksanaan, dan kasepuhan
[2] Orang yang dikwal, dibimbing, didampingi oleh Tuhan terus-menerus sehingga saat mengambil keputusan apapun itu, selalu dinaungi hidayah Tuhan
[3] Kulonuwun adalah Bahasa Jawa yang berarti “permisi”

Editor:
Rama Agung Nur .P

--

--