Pengaruh Feminist Legal Theory dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindakan Pidana Kekerasan Seksual

LPM das Sein
8 min readJul 4, 2023

Oleh Richard Willie Handoyo

I. Feminist Legal Theory dalam Definisi

Kelahiran Feminist Legal Theory, secara historis, tidak dapat terlepas dari kelahiran feminisme itu sendiri. Beberapa aktivis feminis dan para terpelajar telah berusaha memberikan definisi pada feminisme itu.

Marry Wallstonecraff, misalkan, dalam buku The Right of Woman menyatakan bahwa feminisme sebagai gerakan emansipasi wanita yang menyuarakan tentang perbaikan kedudukan wanita dan menolak perbedaan derajat antara laki-laki dan perempuan.

Sedangkan, Elinor Burkett dan Laura Brunell dalam artikel “Feminism” menyatakan bahwa feminisme adalah the belief in social, economic, and political equality of the sexes.

Melalui dua pendapat di atas, dapat dinyatakan bahwa dasar dari feminisme adalah emansipasi antara kedudukan wanita dan pria yang dapat diwujudkan dalam berbagai dimensi, seperti ekonomi, sosial, dan lain sebagainya.

Di konteks dimensi hukum sendiri, lahirlah suatu konsep yang bernama Feminist Legal Theory. Jika melacak secara historis, konsep Feminist Legal Theory adalah bentuk respons terhadap dominasi budaya patriaki dalam budaya positivisme hukum yang sering kali merugikan perempuan.

Dalam sistem hukum Amerika Serikat yang dipengaruhi oleh tradisi hukum Anglo-Saxon, adakalanya subjektivitas hakim dapat mengakibatkan ketidakadilan terhadap perempuan dalam proses hukum, sehingga sering kali keadilan tidak terwujud bagi mereka.

Problematika timbul karena perempuan memiliki pengalaman “unik” yang berbeda dengan laki-laki. Konsekuensinya, apa yang disebut adil bagi laki-laki sering kali berbeda dengan apa yang disebut adil oleh perempuan. Perlindungan yang aman dalam pengalaman laki-laki juga tak jarang berbeda dengan pengalaman perempuan.

Oleh sebab keadaan hukum di Amerika Serikat mendorong Ann Scales, seorang pengacara perempuan, bersama para advokat dan akademis Amerika lainnya untuk menggugat sistem hukum Amerika Serikat yang tidak memberikan rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum yang setara bagi perempuan.

Dari catatan historis di atas, untuk sementara dapatlah didefinisikan bahwa Feminist Legal Theory adalah konsep hukum yang memberikan kesetaraan bagi wanita dalam hukum yang mendasarkan kesetaraan itu dengan pengalaman unik perempuan.

Lalu, dalam kedudukannya sebagai teori, di manakah letak Feminist Legal Theory itu? Max Horkheimer, seorang filsuf Jerman yang bermazhabkan Sekolah Frankfurt, mencetuskan bahwa terdapat tataran teori yang mampu membebaskan manusia dari masyarakat irasional. Teori ini yang dia sebut sebagai Teori Kritis.

Jika memasukkan paradigma Feminist Legal Theory sebagai teori kritis, maka akan didapati bahwa Feminist Legal Theory adalah teori kritis yang digunakan untuk membebaskan perempuan dari kerangka sistem hukum patriarki yang tidak menciptakan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian bagi perempuan itu sendiri.

Argumen ini diperkuat dengan ciri dari Teori Kritis yang diungkapkan oleh Horkheimer, di mana Teori Kritis harus senantiasa memiliki kecurigaan pada masyarakat, mengkritisi masyarakat, berpikir secara historis, serta tidak memisahkan teori dan praktik. Ciri-ciri ini juga melekat pada gerakan feminisme yang mendasari lahirnya Feminist Legal Theory.

Dari dua uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Feminist Legal Theory adalah bentuk dari teori kritis yang digunakan untuk memengaruhi sistem hukum supaya berpihak pada kesetaraan gender, sehingga perempuan mendapatkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan yang setara dengan laki-laki, dengan didasarkan pada pengalaman unik perempuan itu sendiri yang tidak bisa disamakan dengan pengalaman laki-laki.

II. Pengaruh Feminist Legal Theory terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindakan Pidana Kekerasan Seksual

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindakan Pidana Kekerasan Seksual menyatakan bahwa:

Substansi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual bertujuan untuk:

a. mencegah segala bentuk kekerasan seksual;

b. menangani, melindungi, dan memulihkan korban;

c. melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku;

d. mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan

e. menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual.

Menurut Wirjono Prodjodiskuro, hukum pidana memiliki tujuan untuk melindungi masyarakat. Dalam upaya melindungi masyarakat, hukum pidana umumnya memberlakukan sanksi sebagai respons terhadap tindakan pidana dengan harapan mencegah terjadinya tindakan serupa di masa mendatang bagi para pelaku dan menciptakan rasa takut pada calon pelaku. Hal ini tercermin dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang digunakan sekarang. Misalkan, dalam pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tertulis bahwa:

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Dalam pasal tersebut, ditekankan bahwa dengan menjatuhkan pidana penjara sembilan tahun, maka pidana sembilan tahun itu cukup untuk memberikan efek takut ataupun jera pada calon pelaku maupun pelaku.

Problematika akan muncul ketika membahas tentang aspek keadilan dalam memandang pasal undang-undang semacam pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Apakah pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan pasal semacamnya yang menekankan sanksi pidana sebagai wujud untuk mencegah tindakan pidana kekerasan seksual, telah memenuhi aspek keadilan terutama bagi perempuan yang kerap kali menjadi korban?

Sebelum menjawab itu, penelusuran atas apa yang dimaksud dengan keadilan hendaknya dilakukan terlebih dahulu, agar mendapatkan definisi yang paling layak untuk “membedah” konsep keadilan dalam menjawab pertanyaan di atas.

Jika melacak sejarah aksiologis atas konsep keadilan, akan ditemukan berbagai pendapat terutama dari para filsuf yang membahas mengenai etika sebagai bahan bahasannya. Aristoteles, misalkan, dalam Etika Nicromacheah menyatakan bahwa keadilan adalah bentuk dari keutamaan moral khusus yang menentukan hubungan baik dengan orang-orang dan memberikan keseimbangan bagi dua pihak.

Dalam konteks keseimbangan ini, Aristoteles menggunakan istilah kesamaan untuk menggambarkan bahwa secara numerik, manusia memiliki kedudukan yang setara dalam suatu unit. Dalam hukum, konsep keadilan Aristoteles ini dapat diimplementasikan ketika seluruh individu memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, sehingga pemberian hak-hak yang timbul dari kewajiban mematuhi hukum akan sejalan dengan kemampuan dan prestasi mereka.

Namun, dalam pandangan Aristoteles, keadilan dianggap sebagai sesuatu yang objektif. Apa yang disebut adil dipukul rata pada setiap subjek tanpa memandang gender, golongan, etnis, dan lain sebagainya.

Pendapat Aristoteles, terutama dalam konteks hukum, juga memiliki beberapa masalah yang perlu diperhatikan. Sebagai contoh, pada konsep hukum adat sepikul sebakul yang diterapkan dalam masyarakat Jawa.

Terdapat pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki diuntungkan dengan dua kali lipat bagian yang diterima oleh perempuan. Jika melihat dari perspektif Aristoteles, dapat disimpulkan bahwa konsep hukum ini tidak adil, karena seharusnya pembagian warisan didasarkan pada kewajiban mematuhi hukum yang menentukan hak tersebut, bukan berdasarkan gender.

Akan tetapi, bagi masyarakat adat yang mengikuti konsep tersebut, mereka menganggap pembagian warisan tersebut adil berdasarkan volkgeist atau jiwa bangsa yang melekat dalam masyarakat, yang menentukan pandangan mereka tentang keadilan. Penting diingat bahwa volkgeist ini bervariasi antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Oleh karena itu, sulit untuk menerapkan konsep keadilan yang seragam seperti yang diajukan oleh Aristoteles.

John Rawls, seorang filsuf Amerika Serikat yang terkenal dengan konsep-konsep keadilannya juga memberikan pendapat mengenai apa itu keadilan. Pada dasarnya, untuk Rawls, keadilan itu adalah fairness yang menghasilkan keadilan prosedural yang murni.

Fairness di sini berkaitan dengan konsep liberty dan equality yang dalam penjelasan selanjutnya diartikan sebagai kesempatan dalam memperoleh kesempatan yang sama dalam kemerdekaannya sebagai manusia. Pengertian fairness menurut Rawls saja belum menciptakan apa yang dimaksud dengan keadilan.

Bagi Rawls, fairness tersebut hendaknya menciptakan sebuah keadilan prosedural yang murni, di mana konsep “adil” tidak akan terlepas dari prosedur itu sendiri. Sehingga, keadilan menurut Rawls bukanlah soal apa yang didapatkan oleh para subjek layaknya pendapat Aristoteles, tetapi keadilan yang berkaitan dengan sistem itu sendiri.

Konsep keadilan juga dapat dibaca dari kacamata postmodernisme. Postmodernisme adalah suatu aliran filsafat yang menekankan bahwa tidak ada yang absolut ataupun objektif di dunia ini. Relativitas berlaku bagi segala segi kehidupan manusia.

Pada pendekatan postmodernisme, tidak ada satu konsep keadilan yang dapat disimpulkan sebagai yang paling objektif atau benar. Namun, kita akan dihadapkan pada beragam konsep keadilan dengan berbagai interpretasi dan analoginya masing-masing. Menurut pandangan ini, konsep keadilan menjadi subjektif dan tidak didasarkan pada norma atau prinsip objektif yang ada di luar subjek, melainkan sangat berkaitan dengan konsep keadilan yang dipercaya oleh setiap subjek. Oleh karena itu, tindakan yang dianggap “adil” oleh norma hukum dan hukum yang berlaku dalam masyarakat dapat dianggap tidak adil oleh subjek yang berbeda.

Dalam perspektif postmodernisme, terdapat kesempatan untuk melakukan analisis mendalam terhadap pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan ketentuan serupa yang fokus pada penerapan sanksi. Pada pasal 289, keadilan yang dijunjung adalah keadilan dalam bentuk objektif, di mana pemberian sanksi berat selama sembilan tahun bagi pelaku tindak pidana pelecehan seksual diasumsikan akan menciptakan rasa keadilan bagi semua pihak dan masyarakat.

Namun, jika melihat dari perspektif korban—terutama perempuan—, apakah penjara selama sembilan tahun sudah memadai untuk memenuhi rasa keadilan sebagai korban?

Dalam hal inilah, Feminist Legal Theory muncul sebagai sebuah teori kritis dalam mengkritik rasa keadilan yang ada. Teori ini tidak menggunakan paradigma objektif yang netral, melainkan pendekatan yang mempertimbangkan pengalaman unik perempuan yang berbeda dengan pengalaman maskulinitas pria.

Pada pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta pasal lainnya yang menekankan sanksi bagi pelakunya, pusat dalam pasal-pasal tersebut adalah pelaku itu sendiri.

Rasa keadilan dianggap muncul ketika pelaku dihukum seberat-beratnya dan korban dalam pasal 289 & pasal lain yang menekankan sanksi, tidak menjadi unsur dari keadilan yang hendak diciptakan itu.



Padahal dalam pengalaman wanita, tak hanya sanksi seberat-beratnya yang menciptakan keadilan itu, namun juga segala perlindungan, pemulihan fisik, dan psikis korban. Itulah yang diperlukan dalam menghadirkan rasa keadilan.

Pasal 3 dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mencerminkan perubahan paradigma dalam mengatur tindakan pelecehan kekerasan seksual, dengan memberikan orientasi baru yang berbeda. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak hanya berfokus pada pemberian sanksi kepada pelaku guna mencegah terjadinya tindakan kekerasan seksual, tetapi juga mencakup perlindungan terhadap korban, sebagaimana yang tercantum dalam poin b pasal 3 ini.

Undang-undang ini bertujuan untuk menangani, melindungi, dan memulihkan korban kekerasan seksual, sehingga keadilan tidak hanya diwujudkan melalui hukuman pidana, tetapi juga memperhatikan kepentingan dan hak korban tersebut.

III. Feminist Legal Theory Sebagai Pemerkuat Kesetaraan Gender dalam Hukum

Konsep Feminist Legal Theory dapat ditemukan pula dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mengatur cuti-cuti yang dikhususkan untuk wanita, seperti cuti haid yang diatur dalam pasal 81 ayat (1), cuti melahirkan yang diatur dalam pasal 82 ayat (1), serta cuti keguguran yang diatur dalam pasal 82 ayat (2). (Walaupun sangat disayangkan pasca Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan sebagai Undang-Undang, cuti haid dan melahirkan dilebur dalam perjanjian kerja yang berkaitan dengan istirahat panjang).

Hak-hak pekerja inilah yang didasarkan oleh pengalaman unik perempuan, sehingga tidak mungkin sasaran dari peraturan ini adalah subjek selain perempuan itu sendiri.

Akan tetapi, meski Feminist Legal Theory telah banyak menjadi dasar dalam mengonstruksikan hukum positif di Indonesia, para aparat hukum yang menegakkan hukum sering kali tidak mempertimbangkan kepentingan korban terutama yang berkaitan dengan cara pandang perspektif korban perempuan.

Padahal, Feminist Legal Theory diperlukan dalam hukum, baik dalam produk hukum maupun aparat penegak hukum itu sendiri, supaya hukum akan lebih adil dan inklusif bagi semua individu, termasuk perempuan yang memiliki pengalaman yang berbeda, baik oleh pengalaman laki-laki ataupun pengalaman objektif.

Dengan demikian, penerapan Feminist Legal Theory di Indonesia dapat mendorong perubahan positif dalam kesetaraan gender serta menciptakan keadilan sosial layaknya yang tertera dalam sila kelima pancasila.

Sumber:

--

--