Kusut Keruh Pengungsi di Indonesia: Kemanusiaan atau Kedaulatan?

Kontributor: Apribilli, S.H.

LPM das Sein
7 min readDec 17, 2023

--

Sekapur sirih

Beberapa minggu terakhir ini, Indonesia sedang diperhadapkan dengan masalah terkait dengan berlabuhnya pengungsi Internasional dari etnis Rohingnya di Provinsi Aceh. Berdasarkan laporan dari BBC, etnis Rohingnya ini berasal dan mendiami negara bagian Rakhine di Myanmar.

Merujuk pada laporan United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR), bahwa yang melatarbelakangi pengungsi dari etnis Rohingnya tersebut melarikan diri dari Myanmar disebabkan oleh tindakan Pemerintah Myanmar yang dianggap represif melalui pembatasan akses layanan kesehatan, pendidikan, dan kesempatan kerja; tidak diberikannya akses untuk memperoleh kewarganegaraan sehingga menjadi stateless; dibatasi dalam kamp dan desa; dan menjadi sasaran kekerasan.

Oleh sebab itu, melarikan diri ke negara-negara terdekat menjadi pilihan yang harus diambil oleh para warga etnis Rohingnya tersebut. Masih merujuk pada laporan UNHCR, sekitar 960.000 orang pengungsi Rohingnya melarikan diri ke Bangladesh, hal ini disebabkan Bangladesh merupakan negara yang mudah diakses karena berbatasan darat langsung dengan Myanmar, kemudian 107.000 orang melarikan diri ke Malaysia, dan 22.000 orang melarikan diri ke India.

Untuk di Indonesia sendiri, UNHCR sebelumnya telah mencatat bahwa terdapat 882 orang pengungsi Rohingnya, akan tetapi jumlah ini akan mengalami lonjakan pasca berdatangannya pengungsi para pengungsi tersebut dalam beberapa minggu ini.

Indonesia sendiri merupakan negara yang sangat strategis karena kondisi geografisnya berupa negara kepulauan (achipleagic state) sehingga sangat mempermudah para pengungsi yang datang menggunakan perahu, sedangkan Provinsi Aceh sendiri merupakan wilayah Indonesia yang berbatasan dengan Myanmar di Laut Andaman. Selain itu, faktor religiusitas juga menjadi pendorong bagi para pengungsi Rohingnya yang beragama Islam tersebut dan Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia diharapkan memberikan empatinya kepada mereka.

Selain pengungsi Rohingnya dari Myanmar, di Indonesia juga telah tercatat pengungsi-pengungsi dari negara lain di mana 55% dari Afganistan, 10% dari Somalia dan 6% dari Myanmar berdasarkan data dari UNHCR pada akhir November 2022. Sejauh ini, belum terdapat tindakan penolakan yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia terkait kedatangan para pengungsi internasional tersebut, justru pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.

Pertanyaannya, apakah kedatangan para pengungsi tersebut akan menimbulkan masalah dalam gejolak sosial di Masyarakat? Jawabannya ternyata iya, justru masyarakat di wilayah yang dijadikan tempat berlabuh para pengungsi tersebut menolak kedatangan para pengungsi karena dianggap melanggar ketertiban umum sebagaimana yang terjadi di beberapa wilayah di Provinsi Aceh beberapa waktu lalu.

Lantas, bagaimana seharusnya pemerintah bersikap mengenai hal ini?

Tinjauan dari Aspek Hukum Internasional

Pengungsi internasional sendiri diatur dalam Konvensi Jenewa 1951 (Convention Relating to the Status of Refugees) dan kemudian diperluas pemaknaan dan pemberlakuanya melalui Protokol New York 1967 (Protocol Relating to the Status of Refugee). Dalam Konvensi Jenewa 1951, mereka yang dikategorikan sebagai pengungsi terbatas pada pihak yang mengalami persekusi karena latar belakang agama, etnis, ras, atau paham politik sebelum 1 Januari 1951.

Setelah disepakati dan diberlakukannya Protokol New York 1967, definisi ini kemudian diubah menjadi lebih universal dan menghapuskan batasan waktu pada Konvensi Jenewa 1967.

Pengungsi dari segi penentuan statusnya dibedakan menjadi pengungsi konvensi dan pengungsi mandat. Pengungsi konvensi memperoleh penetapan status pengungsi dari negara-negara yang telah menjadi pihak baik melalui ratifikasi maupun aksesi dalam Konvensi Jenewa 1951 dan/atau Protokol New York 1967.

Sedangkan, pengungsi mandat memperoleh penetapan status sebagai pengungsi oleh UNHCR apabila ia datang ke wilayah negara yang belum menjadi pihak dalam salah satu atau kedua instrumen hukum perlindungan pengungsi internasional yang telah disebutkan sebelumnya (Wagiman, 2012 : 138–139). Pengungsi internasional yang datang ke Indonesia merupakan contoh dari pengungsi mandat, sebab Indonesia belum menjadi pihak baik dalam Konvensi Jenewa 1951 maupun Protokol New York 1967.

Pemerintah Indonesia berikut segenap aparatnya berpedoman pada Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri dalam melakukan penyelamatan terhadap pengungsi yang datang ke Indonesia termasuk menyediakan rumah detensi imigrasi (rudenim) dan memberikan akses layanan kesehatan bagi para pengungsi tersebut.

Dalam ketentuan tersebut juga diatur bahwa pemerintah bekerja sama dengan kantor perwakilan UNHCR di Indonesia dalam melakukan pengumpulan data yang menjadi pertimbangan bagi UNHCR dalam memberikan atau menolak permohonan status pengungsi yang diajukan oleh para pengungsi yang datang ke Indonesia. Selain itu, dalam beberapa sumber dinyatakan bahwa sebenarnya Indonesia bukanlah tujuan utama dari para pengungsi tersebut, melainkan hanya sebagai tempat transit.

Tidak terikatnya Indonesia dalam Konvensi Jenewa 1951 maupun Protokol New York 1967 nampaknya memberikan angin segar sebab seolah-olah Indonesia tidak berkewajiban menerima para pengungsi internasional yang datang ke wilayahnya.

Pada Pasal 33 Konvensi Jenewa 1951, terdapat asas dasar yang menjadi napas perlindungan pengungsi yaitu Asas non-refoulement yang menyatakan bahwa negara pihak tidak boleh menolak atau memulangkan pengungsi yang datang ke negaranya dengan cukup alasan bahwa pengungsi yang bersangkutan terancam nyawanya atau mengalami persekusi yang menimbulkan ketakutan baginya sehingga ia harus melarikan diri dari negara asalnya.

Jika secara sempit memaknai tanggung jawab Pemerintah Indonesia berdasarkan ketentuan konvensi tersebut, maka dengan mudah kita dapat menarik kesimpulan bahwa Pemerintah Indonesia tidak berkewajiban menerima para pengungsi yang datang ke Indonesia dari manapun negara asalnya sebab jika dimaknai berdasarkan metode argumentum a contrario, yang wajib menerima hanyalah negara yang terikat pada konvensi tersebut.

Akan tetapi, jika dilihat dalam perspektif ketentuan lain, Indonesia telah meratifikasi Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998, di mana dalam Pasal 3 Ayat (1) Konvensi tersebut dinyatakan bahwa “No State Party shall expel, return (“refouler”) or extradite a person to another State where there are substantial grounds for believing that he would be in danger of being subjected to torture” yang jika dilihat dari konstruksi pasal tersebut, Indonesia tidak boleh mengusir siapapun baik pengungsi atau bukan ke negara lain yang dianggap membahayakan mereka dan oleh sebab itu, tindakan pemulangan paksa terhadap para pengungsi oleh pemerintah juga tidak dibenarkan dalam perspektif konvensi ini, sebab adanya potensi bahwa para pengungsi akan mengalami persekusi di negara asalnya tersebut.

Hal ini kemudian diperkuat dengan fakta bahwa asas non-refoulement sendiri merupakan bagian dari general principles of law recognized by civilized nations yang merupakan salah satu sumber hukum internasional menurut Pasal 38 Ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional yang menjadikan prinsip ini sebagai sumber hukum yang diterima secara umum bagi seluruh negara.

Selain itu, Indonesia sebagai negara yang berlandaskan Pancasila nyatanya berusaha menerima kedatangan para pengungsi internasional sebagai wujud implementasi sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.

Akan tetapi, kembali kepada pertanyaan awal, bagaimana seharusnya pemerintah bersikap terlebih atas fakta bahwa para pengungsi yang datang kerap menimbulkan gangguan terhadap ketertiban umum?

Pertanyaan di atas dapat dijawab dengan memperhadapkan asas non refoulement dengan kedaulatan negara. Menurut J.G. Starke, apabila Hukum Internasional dan Hukum Nasional dipertentangkan, maka yang harus diutamakan adalah Hukum Internasional sebab jika hukum nasional yang diutamakan maka akan menimbulkan anarkhi (Sugeng Istanto, 2010 : 9).

Oleh sebab itu jika diterapkan pada asas non-refoulement yang merupakan bagian dari hukum internasional, maka asas tersebut harus diutamakan menurut teori ini. Akan tetapi dalam perkembangannya, pengutamaan asas non-refoulement ini ternyata tidak menjamin kemanan dan ketertiban nasional suatu negara dalam artian bahwa negara kesulitan dalam menjamin apakah para pengungsi yang datang ke wilayahnya tidak disusupi oleh anggota organisasi teror, pelaku perdagangan manusia maupun ancaman lainnya.

Oleh sebab itu, negara-negara seperti Amerika Serikat dan Australia melakukan pembatasan maupun pelarangan bagi para pengungsi dari negara-negara tertentu ke wilayahnya. Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan Executive Order Protecting The Nation From Foreign Terrorist Entry Into The United States 13.769 yang menyatakan penolakan terhadap pencari suaka asal Irak, Libya, Iran, Somalia, Sudan, dan Yaman karena dikhawatirkan akan menimbulkan ancaman terhadap kemanan nasional. Padahal, Amerika Serikat sendiri merupakan negara pihak dalam Protokol New York 1967 yang merupakan satu kesatuan dengan Konvensi Jenewa 1951.

Lantas, bukankah tindakan Amerika Serikat tersebut melanggar ketentuan protokol yang telah ia sepakati sendiri berdasarkan asas pacta sunt servanda bahwa perjanjian yang dibuat secara sah adalah mengikat dan wajib dilaksanakan bagi para pihaknya?

Jawabannya adalah tentu Amerika Serikat mengedepankan kedaulatan negaranya (Sovereignty) yang kemudian diterima sebagai progressive development atau perkembangan hukum internasional bahwa hukum internasional yang dalam hal ini adalah asas non-refoulement dapat dikesampingkan apabila didasari pada alasan keamanan nasional dan ketertiban masyarakatnya.

Amerika Serikat sendiri berkaca pada tragedi kelam serangan terorisme di Menara Kembar WTC (World Trade Center) dan markas militer Amerika Serikat “Pentagon” pada tahun 2001. Penerbitan Executive Order Nomor 13.769 tersebut merupakan langkah antisipatif dari Amerika Serikat, meskipun perlu dicatat bahwa pelaku serangan tersebut belum tentu berasal dari kalangan pengungsi.

Bagaimana seharusnya pemerintah bersikap?

Dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut, penulis menawarkan dua opsi. Pertama, jika Pemerintah Indonesia tetap mengedepankan kemanusiaan maka tindakan yang harus dilakukan pertama-tama adalah mendeteksi apakah pengungsi yang datang ke Indonesia murni mencari perlindungan dan tidak terafiliasi pada kelompok teorisme, perdagangan manusia (human trafficking) atau hal-hal lainnya yang berpotensi melanggar ketertiban umum dan mengganggu kemanan nasional. Selain itu, pemerintah juga harus mendesak UNHCR dalam menentukan negara tujuan yang pasti bagi para pengungsi tersebut di kemudian hari.

Kedua, jika Pemerintah Indonesia mengedepankan kedaulatan negara dan mengesampingkan asas non-refoulement atas dasar keamanan nasional dan ketertiban umum, maka tidak ada upaya lain selain menolak atau merelokasi paksa para pengungsi yang datang ke Indonesia ke negara lain. Pemerintah juga perlu mendesak negara-negara pihak dalam Konvensi Jenewa 1951 maupun Protokol New York 1967 untuk menaati instrumen hukum internasional tersebut.

Sumber:

--

--