Isu Rohingya: Jerat Post-truth dan Dekonstruksi Opini

Oleh: Richard Kho

LPM das Sein
7 min readJan 1, 2024

--

Suara tangisan wanita dan anak-anak memenuhi Rubanah Gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA), Kota Banda Aceh pada Rabu (27/12). Pasca para muhajirin Rohingya melaksanakan sholat Zuhur, sekelompok mahasiswa dengan menggunakan jas almamater kampusnya masing-masing memaksa masuk ke dalam rubanah. Mereka berteriak, melempar, dan menendang barang-barang milik pengungsi. Bermain buta dan tuli dengan tangisan anak-anak serta wanita. Kemudian, mereka memaksa orang-orang malang itu berjalan menuju truk yang sudah mereka siapkan. Intensinya: mengusir.

UNHCR, Badan Pengungsi PBB menyatakan bahwa aksi mahasiswa yang merupakan aliansi mahasiswa dari perguruan tinggi di Aceh ini adalah hasil dari kampanye online yang berisi misinformasi, ujaran kebencian, dan disinformasi kepada para pengungsi Rohingya. Pernyataan UNHCR ini tercerminkan dalam konten-konten dengan narasi yang memojokan pengungsi Rohingya di berbagai platform media sosial. Misalkan seperti konten dengan narasi bahwa pengungsi Rohingya akan menjajah Indonesia, maupun membingkai kelakuan-kelakuan buruk pengungsi Rohingya yang kemudian digeneralisir secara bias.

Ada dua fenomena yang rasanya dicerminkan dari kejadian ini. Yang pertama adalah adanya fenomena post-truth dalam pemberitaan media. Kedua adalah kemerosotan moral yang disebabkan oleh dua hal: kurangnya empati dan kecacatan dalam berlogika.

Jeratan Post-truth

Pada November 2016, Oxford Dictionary menobatkan post-truth sebagai “word of the year” dengan dikaitkan dengan momentum pemilihan presiden di Amerika Serikat dan referendum di Inggris yang menyebabkan Brexit (Britian Exist, yang memiliki arti keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa). Dalam Oxford Dictionary, post-truth didefinisikan sebagai situasi dimana fakta objektif tidak berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan hal-hal yang mengubah emosi atau keyakinan personal. Post dalam post-truth tidak berarti melampaui. Post di sini merujuk pada “kebenaran sudah tidak penting”, yang terpenting adalah fakta yang ditekuk dan disesuaikan dengan tafsir, opini dan keyakinan masyarakat.

Dalam penyebaran informasi, terutama informasi yang bukan berasal dari media pers resmi. Pemberitaan mengenai pengungsi Rohingya menunjukan fenomena post-truth. Tanpa melalui fakta objektif dan tanpa melakukan riset mengapa hal itu bisa terjadi, fakta dapat dibentuk dan ditekuk untuk mencari sensasi, kemudian disebarkan dengan opini yang menggiring publik untuk memandang isu Rohingya sesuai kehendak pembuat konten. Kesannya: Xenofobia.

Misalkan dalam penggiringan opini bahwa pengungsi rohingya tidaklah bersyukur karena selalu menuntut lebih baik itu makanan, tempat tinggal, dan kehidupan yang layak. Beberapa akun di Tiktok, X, Facebook maupun Instagram selalu mem-framing peristiwa ini secara berulang-ulang, baik dalam bentuk berita bohong, meme, ataupun konten reaction. Akan tetapi, dalam setiap konten tersebut, bias faktanya, tidak jelas sumbernya, dan kebanyakan hanya menggunakan satu peristiwa untuk digeneralisir secara bias.

Begitu pula saat banyak tweet di X seperti “Enak ya jadi rohingya, dapat makan gratis, tempat tinggal gratis. Sedangkan warga lokal harus kerja buat makan” atau “Pengin jadi rohingya aja. Makan dibayarin UNHCR”. Opini-opini di atas bisa saja dianggap sebagai opini belaka. Tapi bila kita kaitkan dengan fenomena post-truth, opini di atas dapat dipertimbangkan sebagai fakta. Bukanlah fakta yang objektif, tapi fakta yang nyaman untuk dibaca.

Dengan minimnya pemberitaan yang objektif, media alternatif dapat menjadi media pengganti. Tapi saat media alternatif disusupi oleh fenomena post-truth, kebenaran yang dibawakan oleh media alternatif menjadi relatif. Kebenaran bisa saja ditekuk dan dibentuk sesuai kebutuhan. Dalam pemberitaan mengenai pengungsi Rohingya, fenomena post-truth telah menciptakan kebencian dan aksi pengusiran seperti yang dilakukan oleh aliansi mahasiswa Aceh. Entah apa motifnya membuat konten yang memojokan pengungsi. Mungkin saja memang benci dan dengki, atau hanya sekedar mencari viral dan FYP. Tapi yang pasti, post-truth mengenai Rohingya telah membuka tirai baru pada suatu fenomena, apakah telah terjadi kemerosotan moral? baik bagi kaum “terdidik” ataupun pada masyarakat?

Dekonstruksi Opini

“Tak seorang pun akan menempatkan anak-anak mereka di perahu, kecuali lautan lebih aman ketimbang daratan.” — Warsan Shire

Kebencian berakar dari dua hal. Yang pertama kurang empati. Yang kedua adalah tidak berlogika. Dalam bagian ini, mari kita coba mendekonstruksi opini-opini yang muncul dalam isu-isu mengenai pengungsi Rohingya. Tujuannya: mencoba terhindar dari fenomena post-truth

“Mereka seharusnya ke Bangladesh di mana sudah disiapkan tempat bagi mereka. Mereka malah ke Indonesia”. Bangladesh menjadi “destinasi utama” bagi muhajirin Rohingya untuk mendapatkan perlindungan. Selain dekat secara geografis, juga ada kedekatan dalam hal agama yang menyebabkan Bangladesh dianggap sebagai tempat yang aman bagi etnis Rohingya guna menghindari genosida yang terjadi di Myanmar. Etnis Rohinya yang datang ke Bangladesh terbagi dalam beberapa glombang sejak 1977 sampai sekarang.

Dalam laporan The Jakarta Post dengan judul “Rohingya flee kidnap, hunger in Bangladesh hoping for better life” kondisi penampungan pengungsi di Bangladesh telah memburuk beberapa waktu terakhir. Keamanan menjadi permasalahan. Kasus penculikan terhadap anak, tempat pengungsi yang menjadi medan pertempuran antara kelompok bersenjata yang menggunakan pengungsian sebagai tempat penyelundupan narkoba dan manusia, serta bantuan makanan yang menipis menyebabkan banyak pengungsi mulai meninggalkan kamp-kamp Bangladesh. Mereka mengarungi laut bersama, berharap kehidupan yang lebih baik di mana menjanjikan stabilitas dan keamanan yang lebih baik dari Bangladesh. Entah di Malaysia ataupun Indonesia.

“Mereka ini orang malas, kriminal, penyakit masyarakat, dan tidak tahu diri”. Masih segar dalam ingatan, saat muncul sebuah video seorang yang menunjuk makanan, kemudian melakukan gestur-gestur tangan. Narasi dalam video tersebut “Rohingya tidak tahu berterima kasih. Dikasih makan minta lebih #usirrohingya”. kemudian komen-komen menyeruak, pesannya satu, menghujat dan dukungan untuk mengusir seluruh pengungsi karena dianggap rakus. Aneh sekali, ketika seorang Jawa mencuri sebuah roti, tidak berarti orang Jawa secara keseluruhan adalah pencuri, bukan? Begitupula ketika seorang Cina suka pergi ke diskotik, tidak berarti seluruh orang Cina suka dugem, bukan? Ketika seorang muslim berzina, tidak berarti seluruh muslim adalah tukang zina, bukan? Praktik ini jelas sebuah kesalahan berlogika, generelasisai bias.

Selain itu, bukan untuk membenarkan tindakan kriminal. Aksi-aksi kriminal dari pengungsi yang dianalisa secara sederhana dapat didorong karena adanya perasaan ditolak, frustasi, kehilangan rumah, tergusur, lapar, kehilangan anggota keluarga, dan terasingkan yang membawa para pangungsi sampai pada titik putus asa seolah dilebih-lebihkan pemberitaannya. Kita dengan lantang dan berani dapat menyalahkan orang dan kelompok yang bukan bagian dari “kita”, dan menyatakan bahwa semua orang yang merupakan bagian dari pelaku kriminal adalah penyakit masyarakat. Lagi-lagi kita sampai pada generalisasi bias, tapi dengan tambahan Xenofobia.

“Enak ya jadi Rohingya, hidup dibayarin, apa-apa dibayarin. Lah gue, kudu kerja buat urip”. Betul, enak sekali bahwa kita tidak perlu hidup dalam ketakutan dan frustrasi. Tidak perlu takut pada genosida yang dilakukan oleh pemerintah sendiri. Tiidak perlu pergi meninggalkan kampung halaman karena ancaman bahaya. Tidak perlu makan-makanan belas kasihan orang. Tidak perlu tidur dalam kamp-kamp pengungsi yang berdempet. Tidak perlu mengarungi lautan guna mencari kehidupan yang aman dan stabil.

Opini ini sering sekali muncul dalam aktivitas media sosial kita. Opini bernada kebencian dengan iri dan menuding para pengungsi hanya mencari kesenangan belaka setelah melewati kesengsaraan mengarungi lautan yang mengancam nyawa. Ini bukan soal perdebatan bahwa saya setiap hari hanya makan sayur, sedangkan pengungsi dapat daging. Ini soal cara berpikir tidak manusiawi di mana dikonstruksikan bahwa para pengungsi harus hidup dibawah standar, tidak boleh sama baik dengan dia yang berucap. Layaknya pemikiran zaman kolonial

Seorang Walondo berucap pada seorang Jawa yang sedang menyiangi taman indahnya. “Seharusnya kau bersyukur, Belanda datang ke tanah ini, membangun rel kereta api, pelabuhan, dan perkebunan di Hindia Belanda. Jadi hidupmu begitu saja, tidak perlu sama seperti kami yang bisa mempekerjakan banyak orang-orang jawa yang miskin dan malang”. Hal ini jelas menyedihkan.

“Orang Indonesia perlu dibantu lebih dulu, masa orang asing kita bantu lebih dulu dimana saat banyak orang kesusahan. Pada Rabu (22/11/2023), pemerintah Indonesia mengirimkan bantuan sebesar 2 juta Dolar AS untuk warga Palestina melalui terminal Bandara Internasional Soekarno Hatta. Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, memutuskan untuk meningkatkan bantuan melalui Badan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina sebanyak tiga kali lipat. Kemudian, di Indonesia tercatat bahwa kurang lebih ada 5.000 pengungsi Palestina di Indonesia. Pertanyaannya, apakah kita tidak perlu membantu warga Palestina yang juga menderita guna memenuhi argumen ini? Atau pura-pura bodoh bermain tutup mata?

Sedikit untuk Mahasiswa dan Mereka yang Mengaku Terdidik

Levinas pernah dihadapkan pada sebuah pertanyaan filosofis yang mempengaruhi filsafatnya kelak. Bagaimana bisa ekstremisme Hitler dapat terjadi di sebuah Eropa yang sudah di-evangelisasi selama lima belas abad? Pertanyaan Levinas ini berkaitan dengan kebingungannya mengapa Eropa yang sudah mengalami masa pencerahan berkali-kali mulai dari zaman iman sampai zaman nalar bisa terseret pada irasionalitas moral dalam peristiwa Holocaust. Dalam konstruksi filosofis Levinas yang rumit. Levinas menampik bahwa rasionalitas menjamin moralitas. Menurut Levinas, rasio tidak lepas dari kepentingan, dan kepentingan tersebut lebih mengarah pada kepentingan untuk survival. Levinas menegaskan, bahwa mengembangkan moralitas tidak sama dengan mengembanngkan rasionalitas. Moralitas ada pada lapangan yang berbeda dengan rasio.

Mahasiswa dan terdidik adalah mereka yang ditantang untuk mempertajam dan menguatkan rasio untuk menjawab permasalahan-permasalahan modern. Tapi, seperti dalam pendapat Levinas, dan mungkin sedikit modifikasi dengan pepatah terkenal dari Einstein. Moral tanpa ilmu adalah buta, tapi ilmu tanpa moralitas adalah kehancuran (dan kebodohan). Salah satu tujuan dari memperkuat moralitas adalah membuka empati kita kepada orang lain. Tapi ketika moralitas tidak pernah diasah, maka kehancuran datang. Rasio bekerja, tapi terkadang keliru, sehingga membuat kita menjadi manusia yang sesat dan tidak berempati, mungkin, sama seperti Hitler.

Setelah “mengusir” pengungsi Rohingya. Mereka menari-nari, seolah hari ini mereka telah menang melawan mereka yang “jahat”. Kemudian mereka pulang, tidur nyenyak di atas kasur dan makan dengan layak. Sedangkan mereka, yang “jahat” bingung seribu bingung. Menangis dalam hati yang frustasi. “Jahat” yang kecil pun juga bingung, ke mana ibu dan bapaknya pergi? Apakah dibawa mereka yang paling terdidik itu?

Soe Hok Gie mungkin benar. Banyak mahasiswa sok kuasa. Merintih ketika ditindas, tapi menindas ketika berkuasa. Terkadang mereka yang terdidik terlalu “cerdas” untuk merasakan dimensi penderitaan. Mereka hanya bisa memahami penderitaan bila mereka juga menderita.

Penyunting naskah dan editor: Catra Jendra

Sumber:

--

--