DAS SOLLEN & DAS SEIN

Penulis: Richard Willie Handoyo

LPM das Sein
3 min readMay 8, 2023

Undang-Undang Dasar 1945 telah menghikayatkan bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah sebuah kemerdekaan bagi setiap individu. Konsekuensinya, kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah bagian dari hak dasar manusia yang tidak bisa diganggu gugat lagi. Kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah hak yang sudah melekat pada diri manusia itu sendiri. Dan negara melalui tangan-tangan lembagannya telah ditugaskan oleh konstitusi untuk melindungi hal tersebut.

Berarti, dalam praktik sehari-hari, hendaknya tercipta ruang-ruang berekspresi dan berpendapat yang terbuka seluas-luasnya. Mereka yang mendapatkan gelar profesor dan mereka yang mengais-ngais pengetahuan dari informasi yang ada hendaklah dihormati setiap pendapatnya dalam pembacaan atas dunia. Begitupula mereka yang memberikan membubukan warna pada kanvas putih dan mereka yang mengguratkan warna-warna pada tembok yang dingin secara legal hendaknya mendapat ruang ekspresi yang sama dalam berkarya. Dan tentu sahabatku, mereka yang menyanjung-nyanjung pemerintah yang mereka pandang layaknya utusan dari Kayangan dan mereka yang selalu mengkritik pemerintah hendaknya memiliki ruang yang sama dalam mengekspresikan pendapat mereka.

Sayangnya, dunia yang kita sebut sebagai rumah ini memiliki dua dimensi yang unik. Di satu sisi, terciptalah sebuah dunia imajiner dalam benak-benak individu akan keadaan yang seharusnya tercipta dalam dunia ini sehingga kita dapat hidup dalam dunia tanpa kesemrawutan. Dan di sisi lain kita hidup dalam dimensi realita, dimensi kenyataan, yang sayangnya sering kali selalu melenceng pada garis cita-cita manusia yang ideal.

Dan kemudian kita hendaknya bertanya? Apakah di tanah yang kita injak ini, di tanah yang selalu menjunjung ucapan merdeka pada segala hal yang ada, telah terciptalah suatu tatanan masyarakat yang mampu memberi ruang-ruang bagi setiap individunya dalam berpendapat ataupun berekspresi. Atau, jangan-jangan, apa yang bangsa ini rumuskan sebagai kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam dasar negaranya hanyalah gertak belaka?

Jika kita melihat data yang dikeluarkan oleh SETARA Institute bersama dengan Internasional NGO Forum on Indonesian Development pada 2022, skor untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia adalah skor terendah pada tahun 2022 dibandingkan dengan indikator hak asasi manusia yang lainnya. Skor kebebasan berekspresi dan berpendapat ini berada pada nilai 1,5 dari rentang nilai 1–7 dimana 1 menunjukan pemenuhan HAM yang terendah dan 7 menunjukan pemenuhan HAM yang tertinggi.

Menurut peneliti hukum dan konstitusi SETARA intitute, Sayyidatul Inisyah menyatakan bahwa nilai yang rendah ini muncul karena dampak dari penerbitan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru yang dianggap memiliki pasal-pasal karet yang mampu mempersempit ruang-ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Salah satunya ada pada pasal 240 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum. Walaupun pada penjelasan pasal 240 telah dipertegas bahwa “menghina” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan atau citra pemerintah atau lembaga negara, termasuk menista atau memfitnah dan adanya penjelas bahwa menghina berbeda dari kritik. Masalah muncul pada pernyataan bahwa kritik sedapat mungkin bersifat konstruktif. Disini, kritik yang bersifat konstruktif ini dapat sangat luas penafsirannya, apalagi pada kritik-kritik dalam bentuk karya seni yang dapat dengan mudah disalah artikan sebagai bentuk penghinaan.

Selain data, kita juga masih dihadapkan pada masih banyaknya penggunaan pasal-pasal karet yang digunakan untuk mempidanakan orang-orang yang mengespresikan dan berpendapat dengan kritis terhadap seseorang. Layaknya penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan juga pasal 310 dan 311 KUHP tentang penghinaan yang selalu digunakan sebagai senjata untuk membungkam ekspresi dan pendapat.

Memang benar bahwa konstitusi selain menghikayatkan tentang perlindungan pada hak kebebasan berekspresi dan berpendapat, tapi juga menghikayatkan bahwa ada pembatasan atas kebebasan dan menjalankan hak dengan maksud untuk menjamin penghormatan atas hak kebebasan orang lain agar terpenuhnya tuntutan yang adil sesuai dengan yang tertera pada pasal 28 J ayat 2.

Akan tetapi dalam konteks HAM, batasan tersebut harus berpegang pada prinsip-prinsip seperti diatur dalam undang-undang, beralasan, dibutuhkan, dan tidak berlebihan. Oleh karena itu, bila prinsip-prinsip ini dilanggar ketika dilanggar, ruang-ruang berekspresi dan berpendapat kita akan semakin sempit.

Dan pada akhirnya, untuk menjawab apakah kenyataan sudah sesuai dengan apa yang dicita-citakan ada pada hati kita masing-masing. Gunakanlah hati nurani untuk merabah fakta, dan putuskanlah dimana bangsa kita sekarang berada. Apakah kita ada pada masyarakat yang hidup dalam kebebasan berekspresi dan berpendapat, atau sebaliknya, kita kembali pada masa lalu di mana kita gagal move on.

Sumber foto: Larry Reed

--

--