Bisul Machiavellis dalam Undang-Undang Ciptaker

LPM das Sein
3 min readMay 13, 2023

By: Babang Faris Adianto

Filsuf Machiavelli menekankan bahwa dalam dunia politik, kepentingan negara harus diletakkan di atas segala hal, termasuk moral dan etika. Menurut Machiavelli, kepentingan negara merupakan tujuan yang paling utama dan harus dicapai dengan cara apapun, bahkan jika itu melanggar moral dan etika. Langgam politik adalah pandangan tentang bagaimana negara harus dikelola untuk mencapai kepentingan negara. Dalam langgam ini, cara-cara yang dapat mencapai tujuan negara, termasuk yang melanggar moral dan etika, dianggap sah dan diperbolehkan.

Seperti dalam Machiavellianism, langgam politik juga menekankan pentingnya kepentingan negara dan mengatakan bahwa moral dan etika harus dikorbankan demi kepentingan negara. Lantas, bagaimana dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja? Apakah seharusnya Pemerintah memperbaiki Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang berstatus inkonstitusional bersyarat sesuai dengan arahan Mahkamah Konstitusi?

Dalam pertimbangan putusan MK, UU Cipta Kerja dinilai cacat formil dikarenakan tata cara pembentukan undang-undang. Lalu, apakah dengan mengeluarkan Perppu Cipta Kerja ini akan memperbaiki sisi proses maupun subtansi dari UU Cipta Kerja dan kondisi mendesak apa yang terjadi sehingga Perppu ini diterbitkan? Perppu ini diterbitkan berdasarkan Pasal 22 Ayat (1) UUD NRI yang memberikan kewenangan subjektif dan prerogatif bagi presiden dalam menetapkan Perppu dalam hal adanya emergency regulation atau kegentingan yang memaksa. Selain itu, berdasarkan Putusan MK №139/PUU-VII/2009 ditentukannya syarat-syarat bagi presiden untuk mengeluarkan Perppu berdasarkan putusan peradilan bukan hanya melalui doktrin.

Oleh karena itu, berdasarkan Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 serta alasan lainnya, seperti menyerap tenaga kerja yang banyak demi menghadapi tuntutan globalisasi ekonomi dan lainnya, membuat pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja berdasarkan kegentingan yang memaksa.

Lalu, apakah Perppu ini benar-benar sangat genting hingga dikeluarkan? Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa kegentingan yang memaksa harus memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai, dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan kendala yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Perppu Cipta Kerja tidak memenuhi secara objektif dalam ketiga syarat itu karena dalam Putusan MK №91/PUU-XVIII/2020 sudah memberikan jangka waktu yang cukup yaitu 2 tahun untuk memperbaiki sehingga tidak memenuhi syarat pertama sehingga kemendesakan untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat tidak terpenuhi.

Kekosongan hukum juga tidak tepenuhi karena UU Cipta Kerja menurut pemerintah masih dianggap berlaku atau masih adanya UU Ketenagakerjaan. Terakhir, kondisi proses pembentukan UU juga masih dilakukan secara prosedur biasa, bahkan Pemerintah sudah melakukan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dengan mengadopsi metode Omnibus Law dan penerapan partisipasi publik yang bermakna.

***

Akan tetapi, sebagai mahasiswa yang kritis, barangkali kita bisa mencoba mengukur seberapa panjang jarak kemungkinan “The meaningful participation” yang diupayakan oleh pemerintah akan menjadi omong kosong baru? Secara, kita tahu bahwa bisul Machiavelli ini masih sangat rentan pada urusan ketatanegaraan. Selama masih ada bisul tersebut dan kalaulah keputusan MK tak sesuai dengan kehendak sang penguasa, lantas ia akan direkayasa seperti UU Ciptaker, oleh sebab tidak ada yang tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sebagai sang penguasa. Pemerintahlah yang memiliki instrument yang lengkap untuk melakukan berbagai praktik machiavelisme dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Kita juga barangkali perlu memasang mata dengan rangkap dalam menyadari denyut praktik machiavellis yang dikutuk-kutuk oleh pemerintah, tetapi mendemonstrasikannya dalam kehidupan birokrasi di Tanah Air secara diam-diam untuk kepentingan kelompok dan individu.

Foto: JawaPos.com

--

--